|

Simposium Asia Primata ke-9: Momen Kolaborasi untuk Masa Depan Primata Asia 

Sebagai salah satu negara dengan tingkat kekayaan spesies primata tertinggi (urutan ke-3 di dunia), Indonesia menjadi tuan rumah Asian Primates Simposium yang ke-9. Simposium ini berlangsung pada tanggal 23-27 November 2024 di Universitas Sumatra Utara, Medan dan diikuti oleh 295 partisipan dari 20 negara, dengan 54% di antaranya berasal dari Indonesia (Oktaviani dkk. 2024). Mengangkat tema ‘Living in Harmony with Primates’, kongres ini diselenggarakan dalam bentuk presentasi lisan dan pemaparan poster hasil penelitian para pegiat konservasi primata di seluruh Asia, serta field trip ke beberapa lokasi konservasi primata, salah satunya Orangutan Haven.

Kongres ini merupakan kongres primata kedua yang saya ikuti setelah konferensi International Primatological Society (IPS) tahun lalu di Kuching, Malaysia. Pada acara ini, saya berkesempatan mewakili IUCN IdSSG dan memaparkan topik presentasi berjudul “Promoting Science-based Conservation Actions through National Red List Assessments of Indonesian Primates”. Dari 65 spesies primata yang sudah dikaji di Indonesia, lebih dari 90% termasuk ke dalam kategori terancam dengan status konservasi Rentan (Vulnerable/VU), Genting (Endangered/EN), dan Kritis (Critically Endangered/CR). Selain itu, sebagian besar kajian terakhir diperbaharui pada tahun 2015. Oleh karena itu, kajian status konservasi primata Indonesia di tingkat nasional sangat diperlukan untuk menjawab ‘gap’ atau kesenjangan yang terjadi seperti kajian yang sudah lama tidak diperbaharui dan relevansi status global dengan kondisi realita di Indonesia. Kolaborasi lintas sektor menjadi satu hal yang penting untuk mengatasi tantangan tersebut. 

Selain mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan wawasan, konferensi ini menjadi wadah bagi saya untuk bertemu langsung dan berjejaring dengan para primatologi atau para ahli dan praktisi konservasi primata yang selama ini saya temukan namanya di jurnal dan literatur. Salah satunya yaitu Dr. Andie Ang yang menjadi pembicara utama pada hari kedua. Selama lebih dari 10 tahun, Beliau meneliti beberapa spesies primata di Asia, khususnya Presbytis femoralis, yang tersisa 70 individu di Singapura dan sekitar 100 individu di Malaysia (IUCN Red List, 2024). Pada sesinya, Dr. Andie memberikan gambaran kondisi populasi lutung di Asia secara keseluruhan dan Rencana Aksi Konservasi Lutung Asia (Presbytis) tahun 2024-2034. Disusun oleh para ahli primata dan konservasionis internasional, rencana aksi tersebut merumuskan strategi yang diperlukan untuk melindungi 20 spesies lutung Asia di kawasan tersebut sekaligus meningkatkan kesadaran konservasi bagi 83 spesies primata kolobin yang ditemukan di Asia dan Afrika.

Bagi saya pribadi, simposium ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kolaborasi dalam upaya melestarikan primata Asia. Semoga upaya kolektif yang dirintis melalui simposium ini dapat membawa perubahan positif bagi masa depan primata, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh Asia. Terima kasih kepada IdSSG yang telah mendukung saya untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan APS ini.